Saturday, April 3, 2010

Chapter 13,5

Ada unek2 di dalam pikiran Midun. Memang dirinya menjalani kisah cinta dengan Halimah dengan akhir yang bahagia, menikah dan mendapat seorang anak laki2 bernama Basri, dan juga kehidupan mereka berdua sudah sangat layak. Namun, Midun sedikitnya kesal juga, mengapa Tulis St. Sati ga pernah membiarkannya menikmati bumbu2 dari cerita percintaan mereka, sangat hambar.

Bab 12, Midun masih melarat penuh perjuangan hidup. Bab 13 tidak menceritakan dia sama sekali, sampai tiba2 di Bab 14, dengan singkatnya, Midun sukses, lalu mengirimkan "surat ngajakin kawin" sama Halimah, dan menikahlah mereka. Dari situ Midun berpikir,
"Rupanya Tulis St. Sati membuat sastra ini hanya ingin bikin saya menderita. Tiap saya menerima celaka atau penyiksaan, dijelaskannya secara detail bagaimana saya disiksa. Giliran saya dan Halimah, selalu di-skip, asal orang tau aja akhirnya gimana.. Aaaaahhh.. Mending saya tulis sendiri kisah saya kalau begitu, lebih enak dan bisa pake bahasa yang lebih dimengerti.. Hehehe."

Chapter 13,5. Bumbu-bumbu : merica

Sudah lama midun ga ketemu sama halimah. Selama itu midun selalu khawatir gara2 ancaman dari Syekh Abdullah yang berniat buat ngawinin kekasihnya itu, dan tampaknya kekhawatiran midun itu ga sepenuhnya salah. Dendang hati halimah mulai berubah bernada arab selama midun berkelana di tanah betawi. Peribahasa hati dan raga itu berbeda terbukti, hati seorang midun rupanya sangat rapuh hanya karena mengetahui hal itu. Kontras sekali dengan raganya yang terlihat kuat dan gagah itu.

Pikiran midun kacau banget, di otaknya berseliweran berbagai asumsi dan kotradiksi soal pemikirannya. Bagaimana mungkin seseorang yang dicintainya itu bisa lepas dari tangannya hanya karena adanya 10 kilometer jarak yang memisahkan keduanya. Midun pun akhirnya berpasrah, dan membuat kondisi dimana hanya pekerjaannyalah kasihnya saat ini.

Suatu waktu, Pak Tasodni sang pembawa surat mengantakan telegram ke kantor midun. Ternyata surat itu dari halimah, seseorang yang pernah singgah di hatinya...


Udo, seorang temanku berbuat jahat kepadaku. Dia tak membiarkanku keluar kamar barang sedikitpun, dia mengurungku. Sudikah kiranya dirimu membantuku keluar dari sini. Sekiranya jika udo sudi, maka datanglah sebelum hayam ngarampih ka kandang. Bawalah serta sepeda bersama udo, juga topi untukku karena temanku turut mengambil sepeda dan topi kesayanganku.
Salam..

.H.


Midun terheran2 disitu. Disamping heran karena ada istilah sunda di dalam novel berlatar padang ini, Midun heran juga kok halimah meminta tolong kepadanya untuk masalah itu, bukannya meminta tolong kepada Syekh Abdullah yang merupakan orang terdekatnya sekarang. Midun pun bimbang. Keadaan ga akan sama kayak dulu, sewaktu midun menolong halimah kabur dari rumah orang tionghoa di padang. Midun takut kalo nanti perasaan terkuatnya muncul lagi jika bertemu halimah dan itu sangatlah berat bagi midun.

Namun, bagaimana mungkin permintaan pertolongan dari seseorang ditolak oleh midun. Maka, lekas segera setelah itu, midun mengirimkan kabar telegram kepada halimah..


Imah, sekiranya engkau sudi menunggu hingga badai reda dahulu. Lekas aku akan segera mendatangimu dengan membawa benda2 yang adik minta. Nanti kanda kabari jikalau sudah sampai di tempat tujuan.
Salamku untuk adik..

Midun


Konon katanya di zaman sekarang ini, Pak Tasodni dapat mengirimkan kabar telegram bagaikan kilat. Maka seketika itu pula datang telegram balasan dari halimah yang mengatakan kalau dia sanggup buat nunggu samapai badai reda. Tadinya midun berhasrat buat nanyain kenapa halimah ga minta tolong sama Syekh Abdullah saja. Namun, diredakannyalah hasratnya itu mengingat sepertinya hal ini terlalu sensitif untuk ditanyakan kepadanya, saat ini.

Badaipun reda tak lama setelah adzan maghrib berkumandang. Sesuai janji midun, ia datang bersepeda ke tempat dimana halimah minta dia menunggunya. Tak sampai satu waktu menghisap satu batang rokok, halimah datang. Ia datang dengan sepedanya, topi kesayangannya pun menempel di kepalanya.
"adik, kenapa bisa disini? Baru saja aku hendak mengabarimu bahwa aku sudah disini. Bukannya dirimu dibelenggu di satu tempat sedangkan mustahil untuk keluar? Dan pula sepeda juga topimu? Engkau bilang bahwa kedua benda itu dibawa serta pula oleh temanmu yang jahat itu." tanya midun beruntun keheranan.
"tidak udo. Rupanya dia hanya mengerjaiku saja.''
''kenapa bisa begitu?'', midun lanjut bertanya.
''rupanya dia berbuat seperti itu hanya untuk mengejutkanku semata. Tidakkah udo ingat hari ini hari apa?''
Midun mengerutkan dahinya, ''hari apakah adik?''
''satu tiga, tiga satu'' ujar halimah.
mendengar perkataan itu, midun pun langsung ingat, inilah hari ulang tahunnya. Rupanya teman halimah sengaja ngerjain dia karena itu (hal ini udah jadi tradisi).
''karena perihal itu pula aku hendak mengajak udo untuk menemaniku mencari makanan sebelum aku pulang. Maukah udo?"
midun terdiam, berpikir apakah ini benar berjalan2 berdua dengan orang yang yang sudah "bercincin". Namun, keinginan midun membuatnya mengiyakan permintaan halimah itu, dan mereka pun pergi mencari makanan.

Halimah membawa midun ke sebuah kedai di dekat sekolah koki, tempat dimana seharusnya penuh kenangan disitu. Kemudian dipesannya satu panekuk ala sudanesche dengan taburan ayam diatasnya beserta satu gelas susu cokelat hangat. Midun memesan panekuk manis cokelat pisang dan segelas torajas latte untuk minumannya. Mereka berbincang sekian lamanya. Di tengah perbincangan, Midun teringat akan satu ganjalan dalam pikirannya,
"imah, mengapa dikau mengajak serta aku, bukannya Syekh Abdullah, seseorang yang mungkn kelak akan menjadi temanmu sehidup semati?"
Halimah menjawab, "aaahh tidak tau aku, udo. Soal itu jangan dipikirkan. Lebih baik kita berceritera perihal pekerjaan udo sampai2 menjadi orang yang dibutuhkan di negeri sini."
Terlihat oleh midun halimah menjawab pertanyaan itu dengan senyum, senyuman yang menyembunyikan sesuatu hal yang ga ingin diketahu oleh midun. Namun, rasa penasaran midun kemudian luluh juga oleh senyuman yang diberikan oleh halimah tersebut. Keduanya kembali berceritera mengenai perubahan yang terjadi selama mereka terpisah jauh, disertai dengan canda tawa sekali2.

Tak terasa 2 jam berlalu, sudah waktunya pulang. Kalo tidak maka ayah halimah akan khawatir terhadapnya. Halimah pun meneguk tetesan2 terakhir susu cokelatnya. Terlihat bibirnya basah setelah ia mengangkat bibirnya dari bibir gelas itu.
"aduhai, manis nian dirimu halimah. Pipimu yang merah dikala dirimu tersenyum, hampir saja membuatku didaya iblis. Aku sangatlah iri terhadap susu cokelat itu. Bibirku lah yang seharusnya membasahi bibirmu itu..''

setelah membayar apa yang mereka makan, mereka berdua lanjut pulang. Gemerlap cahaya kota menemani mereka bersepeda menuju rumah ayah halimah. Mengingat sudah larut, midun pun mengantar halimah ke rumahnya. Takut jikalau ada hal2 yang tidak diinginkan terjadi. Sesampainya di rumah, midun bertemu dengan ayah halimah dan mereka pun berbincang layaknya dua orang yang sudah lama tidak bertemu. Midun pun duduk menghilangkan lelah sebentar di beranda, ayah halimah pun mempersilahkannya untuk berbincang berdua disitu. Setelah berapa lama, midun bermaksud untuk pulang. Maka permisilah midun pada seisi rumah. Halimah mengantarkannya hingga pagar depan rumah. Midun pun lekas mengayuh sepeda bututnya itu. Tak lebih dari 30 hasta dari situ, midun melirikan pandangannya kebelakang, terlihat halimah sedang melambaikan tangan kepadanya.

"wanita itu, kelak jika dia memang untukku, akan kubuat semua wanita mengidamkan seperti dirinya." itulah janji dan perkataan seorang midun yang penuh akan makna.


Maaf Tulis St. Sati, saya membuat versi saya sendiri...hehehehehehe.

Ini sastra versi aslinya Mangga Diunduh...Tinggal KLIK disini..