Sunday, January 29, 2012

what a heavy ...

What a heavy!

Berat, itu rasa yang harus saya akui dalam menjalani hubungan dengan pacar saya sekarang.

Jarak. Itu hal utama yang selalu jadi objek bahasan orang ketika berbicara LDR. Adanya jarak yang bahkan lebih jauh dari jarak antara London dan Paris diantara kita otomatis bikin kita menggantungkan harapan pada frekuensi GSM untuk saling berhubungan. Hampir setiap saat perhatian saya teralih pada 2 buah HP yang saya miliki, dari sekedar mengecek apakah ada sms balasan yang dinanti, sampai melihat2 timeline twitter mencari tahu kata-kata apa saja yang dia tulis hari ini.

Ya, saya harus masuk ke dalam dunia virtual untuk "bertemu" dengan dia karena kesempatan untuk bertemu secara langsung itu sangat jarang jarang jarang sekali datang. Makanya terkadang...hmmmm maksud saya, seringnya, saya merasa tidak hidup dalam dunia nyata. Namun, pengaruhnya banyak terasa di dunia nyata.

Contohnya, jujur aja, TA yang semestinya sudah saya selesaikan 6 bulan lalu itu sampai sekarang belum selesai. Saya bisa bilang 70% sebabnya karena hal ini. Dia memenangakan hampir setiap pertandingan melawan TA dalam memperebutkan perhatian saya, walau terkadang dia mengalah dan membiarkan saya bercengkrama dengan TA ketika saya bilang kalau saya sedang "kencan" dengan TA. Bahkan jika sedang begitu, dia selalu memberi semangat lewat sms-sms yang dia kirim. Satu kalimat TA, datang satu sms memberi semangat. Satu sms terima kasih saya kirim balik, kemudian satu sms balasan untuk bilang "sama-sama". Hmmm.. Namun, saya sama sekali tidak pernah menyalahkan dia untuk itu. Semua yang saya lakukan itu murni keinginan saya. Itu hanya sebuah konsekuensi dari apa yang saya lakukan.

What a heavy thing I'm minded!

Mungkin kalo orang tau keadaan saya seperti itu, orang akan menilai memang saya yang bodoh. Mungkin beberapa orang berhati baik akan memberi saran pada saya untuk membagi waktu, atau "bisa kan sms-an sambil ngerjain TA". Simpel emang, tapi tidak buat saya. Otak dalam kepala saya ini amat sangat super duper tidak bisa dipakai multitasking. Kapasitas fokusnya hanya untuk satu hal. Kedengaran konyol emang, tapi begitulah. Seperti adik saya yang tidak bisa memakan nasi. Seperti om saya yang phobia sama makanan tahu. Semua bisa tertawa mendengarnya, namun mereka yang merasakan yang paling mengerti.

What a heavy way I gone!

Ketika 700 Km lebih jarak yang memisahkan ini sangat tidak bersahabat dengan waktu. Dan ketika pepatah "waktu adalah uang" berlaku untuk beberapa kondisi, maka jarak yang memisahkan kita ini sangat menguras isi dompet saya, seseorang yang masih bergantung pada uang jajan pemberian orang tua.

Bertemu secara langsung itu perlu, saya sadar itu. Maka, selama hampir setahun kita menjalani hubungan ini, kita telah bertemu sebanyak 3 kali. Ya, hanya 3 kali. 2 kali di Surabaya, sekali di Jogjakarta. Oke lah, 4 kali jika saat kita jadian di Bandung itu dihitung. Saya ingat bagaimana terakhir kali kita bertemu.

Bulan November kemarin, sudah 5 bulan semenjak kita terakhir bertemu di Jogja. Waktu itu saya mendapatkan "sengatan" dari dia yang marah karena saya tidak kunjung "ngapelin" dan tersirat bahwa dia meminta saya untuk segera bertemu. Saya bukannya tidak ingin, tapi beberapa kondisi rasanya tidak akan mengizinkan saya untuk pergi. Ibunda yang waktu itu harus meninggalkan saya selama 10 hari demi kepentingan pekerjaan menitipkan tugas untuk menjaga ketujuh adik kepada saya. Ditambah, kondisi finansial dan ketersediaan waktu yang amat tidak mendukung.

Namun, akhirnya saya putuskan untuk bertemu. Saya luangkan 5 hari di pertengahan bulan, yang artinya saya punya kesempatan 3 hari untuk bertemu karena 2 hari adalah waktu harus ditempuh untuk perjalan pergi-pulang. Begitulah. Uang hasil saya menjual sepeda, yang tadinya saya rencanakan untuk kebutuhan mengerjakan TA, tidak cukup untuk membeli 35 jam potongan waktu bila saya kesana menggunakan pesawat. Dan selama 3 hari berada di kotanya, saya menumpang di kostan teman sekampusnya yang kebetulan sudah saya kenal.

Saya pernah me-retweet sebuah kalimat dari teman saya, "Long Distance Relationship atau Loooooooooooong Distance Relationship tergantung jarak, gak bisa kayak kopaja jauh-dekat 2.000". Percaya deh, selain memang logis, itu benar sekali.

Saya juga tiba-tiba teringat kalimat itu ketika saya bertemu dia saat itu. Seperti biasanya, saya bergantung kepada dia jika saya berkunjung ke kotanya untuk antar-jemput. Cukup adil saya rasa, dan saya yakin dia juga tidak akan merasa keberatan mengingat dia juga punya kendaraan sendiri.

Malam itu, dia mengajak saya berkunjung ke rumahnya. Saya mengiyakan. Waktu itu pertama kalinya saya bertemu dengan ayahnya. Saya pun berbincang-bincang beberapa hal dengan beliau. Sampai saat waktu pulang tiba, saya melihat suatu indikasi ketidaksenangan dari raut wajah dan aksen pengucapan kata-kata yang keluar dari mulut beliau. Rupanya beliau tidak senang jika anaknya mengantar-jemput saya, pacarnya. Saya mengetahuinya setelah pacar saya bilang secara langsung keesokan harinya. Menurut beliau, seharusnya dalam berpacaran, laki-laki yang baik itu datang menjemput ke rumah dan meminta izin pada orang tua untuk membawa anak perempuannya pergi keluar. Tidak seharusnya perempuan yang datang mengantar dan menjemput laki-laki. Melihat saya yang datang dari jauh, tidak mempunyai kerabat, seorang diri, minim pengetahuan akan jalan, beliau merasa itu tidak bisa dijadikan alasan. Maka dari itu, jika saya ingin "ngapel" selanjutnya, saya harus datang ke rumahnya dan meminta izin terlebih dahulu.

What a heavy circumtances I realized!

Ingin rasanya menangis waktu itu. Ingin rasanya berteriak "Kenapa harus seperti ini? Jika itu tradisi, persetan dengan tradisi! Apa harus seperti itu? Lihat saya, saya gelandangan, tidak punya apa-apa dan siapa-siapa disini. Jika itu aturan, persetan dengan aturan! Apakah setiap orang juga harus berdosa setiap saat karena hampir tidak bisa untuk tidak menemui orang yang tidak memakai kerudung di manapun? Tidakkah pernah mendengar tentang kata FLEKSIBEL atau TOLERANSI? Mengertilah, saya mohon!"

Jikalau tidak ada air mata yang menetes karena keadaan ini, sudah pasti saya menyerah. Air mata itu yang membuat saya mengerti kalau hal yang berat ini masih patut untuk diperjuangkan. Air mata itu yang selalu membuat saya yakin bahwa apa yang saya perjuangkan akan memberikan sesuatu yang lebih sebagai imbalannya kelak. Air mata itu yang meyakinkan perasaan saya terhadap dia.

Maka, saya usap air mata itu dari pipinya.

Walaupun akhirnya saya tidak pernah meminta izin ayahnya untuk 2 hari sisanya itu, saya tetap bisa jalan keluar dengan dia. Semua karena dia sangat mengerti, saya harus yakin itu.

What a heavy emotion I have to control!

Kenapa di saat hubungan kita dalam kondisi yang tidak baik, saya selalu mengingat keadaan yang berat ini. Ketika berpadu dengan emosi yang negatif, kolaborasinya sangat menguras pikiran, menghancurkan hati, dan mengikis perasaan.

What a heavy love I'm bound!

What a heavy!

No comments:

Post a Comment